Header Ads

Antara Film AAC dan Big Love

SOSIOLOGI POLIGAMI -- Begitu mendengar novel Ayat-Ayat Cinta (AAC) karya Habiburrahman El Shirazy akan difilmkan, ada semacam perasaan senang bercampur risau. Senang karena akhirnya perfilman nasional berani menampilkan romantisme berbalut religi yang akan menambah warna poster-poster film di bioskop yang selama ini didominasi oleh film horor, komedi konyol dan drama remaja yang gak penting. Kemudian, risau karena griya film yang membuatnya adalah MD Entertainment.







Lho? Iya, sebab jujur saja saya tidak suka dengan produk sinema elektronik yang diproduksi PH yang merupakan klan Punjabi ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa PH ini kerap menayangkan produk yang jauh dari manfaat dan cenderung melecehkan moralitas dan logika. PH ini juga jelas-jelas diperbudak rating dengan menempatkan seluruh sinetronnya dalam format striping yang akhirnya membuat ibu-ibu atau remaja putri terjerumus untuk selalu setia di depan televisi setiap harinya.

Saya adalah salah satu korbannya. Setiap lepas maghrib hingga jelang tengah malam, TV di rumah dikuasai oleh ibu dan kakak-kakak saya. Sehingga kumpulan channel asing yang lebih bermutu yang ingin saya tonton (kebetulan saya berlangganan Astro TV) tidak berdaya di jam-jam ini.

Untungnya, MD menjaga amanah Kang Abik (panggilan penulis novel AAC) yang berharap film AAC yang dibuat lebih bagus dari novelnya, seperti yang tertuang dalam ucapan terima kasih di halaman belakang novel yang telah berkali-kali dicetak ulang ini. Saya sangat beruntung sekali mendapatkan kesempatan pertama—dapat undangan dari seorang teman—untuk menyaksikan film tersebut di kantor MD sebelum rilis di bioskop. Tapi apa memang betul filmnya lebih bagus daripada novelnya?

Sebenarnya sih bisa dibilang film ini lumayan mencerminkan isi novelnya. Jika awalnya saya mencurigai peran Fahri akan ‘dirusak’ oleh cast yang asal-asalan, ternyata tidak begitu kenyataannya. Ferdi Nuril ternyata cukup cocok memerankan Fahri yang notabene berkarakter tiada cela. Ferdi rupanya berhasil melakukan lompatan besar dalam akting ketika memerankan tokoh ini, mengingat peran-peran dia di beberapa film dan sinetron tergolong chessy.



Begitupun dengan Riyanti Cartwright yang memerankan tokoh Aisyah. Lewat perannya itu, VJ MTV ini sanggup melepaskan streotipnya sebagai akrtis yang memerankan cewek gaul.
Dari segi cerita memang setiap durasi kita seolah membuka lembar demi lembar halaman novelnya.

Namun sayang, Hanung, sang sutradara kurang mengekploitasi kehidupan masyarakat Mesir dan keindahan pemandangannya, seperti yang tergambar dalam novel. Saya tidak menyangka, flat yang ditinggali oleh Fahri dan keluarga Maria berada divisualkan dalam lingkungan yang kumuh dan gelap. Begitu pun dengan suasana lingkungan masyarakat Mesir yang tidak lebih dari sebuah suasana di dalam studio film. Dalam hal ini, bisa dibilang novel AAC lebih imajinatif dibandingkan filmnya.

Kondisi yang sama juga pernah ditemui ketika novel The Da Vinci Code dibuatkan versi layar lebarnya. Memang sih, dalam urusan memindahkan sudut pandang penulis ke dalam film akan menjadi sebuah hal yang subjektif. Karena belum tentu si pembuat film memiliki isi otak yang sama dengan si pembuat novelnya. Jadi, masalah properti dan teknis artistik seperti ini bisa dimaafkan.

Jika di novelnya kita merasa hangat dengan keramahan Tuan Boutros dan Yousef yang merupakan ayah dan adik Maria, jangan harap kedua tokoh ini akan tampil di dalam film. Begitu pun juga seorang professor dan rekan-rekan sesama tahanan di dalam sel ketika Fahri ditangkap atas tuduhan perkosaan.

Sulit rasanya menerima bahwa tokoh-tokoh penting seperti ini ditiadakan di dalam film. Dengan adanya pemangkasan tokoh tentu saja berimbas pada pemangkasan cerita. Misalnya saja undangan makan malam keluarga Maria ke sebuah restoran mewah, peristiwa sakitnya Fahri akibat kelelahan, hingga cerita penting seperti pencarian orangtua kandung Noura hanya terwakili dalam plot-plot yang singkat.

Hal yang saja juga dialami kisah pertemuan antara Aisyah dan Fahri di dalam sebuah kereta kurang tergarap secara detil. Sehingga bagi yang belum membaca novelnya mungkin akan bertanya-tanya, kenapa begitu mudah Aisyah dan Fahri berjodoh dan menikah. Karena memang chemistry keduanya kurang tergarap maksimal. Yang mengecewakan, tokoh Alicia, reporter kebangsaan Amerika yang tertarik dengan Islam juga dibiarkan menghilang begitu saja dan tampil tanpa durasi yang berarti. Padahal, di akhir cerita seharusnya ditampilkan Alicia yang memakai jilbab karena telah memeluk agama Islam.

Meski memiliki kekurangan di sana-sini, dari keseluruhan cerita, film ini cukup konsisten menjaga keorisinalan isi novelnya. Sedikit kreativitas pembuat film ini juga patut diacungi jempol. Tokoh Aisyah yang pada novelnya digambarkan cerdas dan penyabar, di dalam film ini malah cenderung sinis dan pencemburu. Karakter inilah yang membuat konflik dirinya dengan Fahri—yang dicintai banyak perempuan—menjadi semakin asyik untuk ditonton. Begitu pun dengan flash-back perjumpaan Fahri dengan Maria yang dibuat sangat romantis namun tetap dalam pakem novel.

Mungkin poin yang tidak dijumpai dalam novel di film ini adalah kehidupan rumah tangga poligamis antara Fahri, Aisya, dan Maria yang digambarkan cukup jenaka dengan porsi yang lumayan berisi. Melihat adegan ini saya jadi teringat dengan film seri Big Love yang tayang di HBO, dimana seorang pengusaha memiliki tiga orang istri yang saling cemburu dan bersaing merebut perhatian sang suami.

Menonton film ini secara keseluruhan kita akan disajikan kesegaran cerita yang cukup membuat hati pilu pada akhirnya. Jika dibandingkan dengan versi novelnya, film AAC memang bukan apa-apa. Sebaliknya, jika dibandingkan dengan beberapa film lokal yang sedang beredar di beberapa bioskop ibukota, tampaknya film ini jauh lebih baik karena menawarkan cerita dan setting yang lebih segar dari yang ada. Hingga saat rilisnya nanti di bioskop, saya pun berniat menontonnya kembali. Salut untuk MD entertainment, semoga sinetron-sinetronnya bisa seperti ini….

Sumber

No comments

Powered by Blogger.