Header Ads

Sosiologi Poligami & Family Property

SOSIOLOGI POLIGAMI --  Oleh : Ita Musarrofa, M.Ag, Dosen Prodi Muamalah UINSA Surabaya
Baru-baru ini di salah satu media sosial marak posting gambar meme lucu tentang poligami. Topik yang menjadi bahan lelucon adalah kemarahan istri saat dipoligami.  Gambar meme lucu tersebut misalnya yang berjudul “Menguji Madu Asli atau Madu Palsu” berikut ini:

Pertama masukkan madu ke dalam gelas, lalu masukkan ke dalam freezer. Kalau beku berarti madu palsu. Kedua, tuang madu ke cangkir, lalu letakkan di meja, kalau dikerubutin semut, berarti madu palsu. Ketiga, ajak madu Anda ke rumah, lalu tunjukkan pada istri, bila istri marah besar, melempar piring, memecah gelas, berarti madu itu asli.

Perhatikan juga postingan berikut:

Punya istri cantik itu penting, punya istri sukses juga penting supaya bisa bantu dakwah suami, punya istri pintar nggak kalah penting, supaya bisa didik anak jadi pintar juga, punya istri solehah sangat penting, agar rumah tangganya sampai ke surga, dan yang terpenting mereka berempat bisa akur.

Ada lagi meme dengan judul tidak pernah menolak poligami yang berisi percakapanberikut:

Ustadzah: “Saya tidak pernah menolak hukum poligami”

Jamaah: “Wah Ustadzah hebat”

Ustazah : “Saya tidak pernah melarang para suami untuk menikah lagi”

Jamaah: “Wah Ustadzah benar-benar berkelas”

Ustazah: “yang penting........”

Jamaah: “yang penting adil kan Ustadzah?

Ustazah: “bukan, yang penting..... bukan suami saya”

Pernyataan bahwa tidak ada perempuan yang mau dimadu adalah benar adanya. Hampir semua perempuan menyatakan perang terhadap poligami. Kenyataan ini dijadikan anekdot oleh laki-laki, menjadi realitas lucu yang layak dijadikan bahan tertawaan. Padahal kebanyakan perempuan yang hidup dalam keluarga poligami harus mengalami perjuangan berat dalam mengatasi kerumitan relasinya dengan sang suami, istri-istri yang lain, anak-anak dari masing-masing istri yang berbeda maupun mengatasi kegalauan perasaannya sendiri.

Di banding monogami, keluarga berbentuk poligami sangatlah kompleks. Kompleksitas struktur keluarga menyebabkan kompleksitas relasi-relasi serta interaksi antar anggota-anggota keluarga di dalamnya. Menurut para antropolog, relasi-relasi dalam keluarga dapat diringkas menjadi kombinasi tiga relasi dasar keluarga. Pertama, union, yaitu relasi antarpasangan suami istri. Kedua filiation, yaitu relasi orang tua dan anak. Ketiga germanity, yaitu relasi antarsaudara (Daniel Bertaux dan Cathrine Delcroix: 2000, 76). Meringkas relasi-relasi keluarga ke dalam tiga relasi dasar tersebut tampaknya tidak memadai bila melihat relasi-relasi dalam bentuk keluarga poligami. Ada satu relasi dalam keluarga poligami yang tidak tercakup ke dalam ketiga relasi tersebut, yaitu relasi antar-istri. Relasi antar-istri inilah yang paling rentan terhadap konflik.

Randall Collins, seorang sosiolog keluarga, menyebutkan adanya tiga hak seseorang yang sudah menikah yang didapat dari pasangannya. Ketiganya dinamakan Collins dengan teori family property. Teori family property memandang keluarga sebagai sistem kepemilikan dan mencatat tiga bentuk kepemilikan dalam keluarga. Pertama, hak atas kepemilikan seksual (sexual property), yaitu hak berhubungan seks dengan pasangan dan larangan melakukannya dengan orang lain. Kepemilikan jenis ini sering diperluas pada aspek perasaan dan afeksi pasangan, meskipun mungkin ini hanya ada pada masyarakat modern. Kedua, hak atas kepemilikan ekonomi (economic property), yaitu materi rumah tangga itu sendiri, berupa income untuk menghidupi keluarga. Ketiga, hak atas kepemilikan intergenerasional (intergenerational property), yaitu  hak anak untuk mewarisi kekayaan ekonomi keluarga dan hak orang tua terhadap anak secara ekonomi ataupun lainnya (Randall Collins: 1987, 37).

Bila keluarga berbentuk poligami dikaitkan dengan property system seperti di atas, ketiga property itu harus dibagi. Suami yang memiliki istri lebih dari satu memperumit bentuk-bentuk relasi dalam keluarga, karena relasi pasangan tidak hanya terjadi antarsepasang suami istri, tetapi juga antarsuami dengan istri-istri yang lain. Para istri harus berbagi baik sexual property, economic property maupun intergenerasional property dari suami yang sama. Relasi orang tua dan anak bukan hanya antara ayah-ibu dan anak-anaknya sendiri, tetapi antara ayah dengan anak-anak dari masing-masing istri, serta antara ibu dengan anaknya sendiri dan anak-anak tirinya. Selain itu, relasi antara anak bukan hanya antara saudara kandung, tetapi juga dengan saudara tiri. Konflik dalam keluarga poligami seringkali terjadi tidak hanya antar istri, tetapi juga antar anak dari istri yang berbeda. Ketiga property tersebut tidak hanya diperebutkan istri-istri, tetapi juga anak-anak dari masing-asing istri.

Tidak semua perempuan mampu menolak poligami, mereka yang sudah terlanjur menjalani hidup dalam keluarga ini cenderung menganggap apa yang terjadi adalah takdir dari Tuhan yang tertulis untuk mereka. Dalam penelitian yang pernah saya lakukan, beberapa perempuan yang saya wawancarai menegaskan tentang takdir yang tidak bisa ditolak ini. Agar bisa nyaman menjalani hidup dalam keluarga poligami, mereka mengembangkan strategi-strategi tertentu, baik dalam mengatasi perasaan mereka sendiri maupun dalam menjalin hubungan baik dengan suami dan istri-istri yang lain.

Seorang informan mengaku tidak pernah melihat wajah madunya saat terpaksa harus bertemu dan berbicara.  Hal ini ia lakukan untuk mengatasi rasa sakit hati. Meskipun ia merestui suaminya menikah lagi, ia tetap merasa sakit hati saat bertemu madunya. Sementara informan yang lain menganggap suaminya orang lain saat bertemu di luar rumah.  Sang suami menjadi suaminya hanya bila bersamanya di rumahnya sendiri. Cara memanipulasi perasaan seperti ini ia lakukan agar ia tidak merasa cemburu saat ia melihat suaminya bersama wanita lain, agar ia tidak bertengkar dengan suaminya karena cemburu, dan agar ia tidak membenci istri-istri yang lain. Sementara itu, informan yang lain menghindari bertanya kemana suaminya pergi serta darimana suaminya datang. Saat suaminya pulang di malam hari, ia hanya mempersilahkan suaminya masuk serta melayani keperluannya tanpa bertanya-tanya. Karena ia tahu pasti suaminya punya istri lain.

Mengetahui bagaimana perempuan-perempuan dalam keluarga poligami membangun strategi hidup, terbayang betapa tidak nyaman kehidupan mereka sehingga harus berjuang mendinginkan hati dengan cara menghindari menatap muka madunya, membangun konsep dalam pikirannya bahwa suaminya hanyalah jika ia mengunjungi rumahnya serta menghindari bertanya di saat seharusnya seorang istri bertanya darimana dan kemana suaminya pergi. Perempuan dalam keluarga poligami, harus berjuang melawan perasaannya sendiri. Ia harus ‘menindas’ diri sendiri agar nyaman membangun relasi dengan suami dan istri-istri yang lain.

Ketidakrelaan perempuan untuk dipoligami sangatlah beralasan. Karena ketika harus hidup dalam keluarga poligami, ia harus membiasakan diri berbagi dan menjalin relasi harmonis dengan anggota keluarga yang lain yang salah satunya dengan mengalahkan keinginan pribadi. Keharusan ini bukan sesuatu yang mudah dilakukan. Jadi tidak selayaknya menjadikan kemarahan istri yang dimadu sebagai bahan candaan. Karena meskipun mereka menyatakan rela dimadu, rasa tidak nyaman tetap mereka rasakan dalam usaha mereka membina keluarga poligami.

Sumber

No comments

Powered by Blogger.